PEMANFAATAN BENDA CAGAR BUDAYA DALAM WACANA MASYARKAT DAN
PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG
Pendahuluan
Kabupaten Ketapang merupakan salah satu daerah di Kalimantan
Barat yang kaya dengan potensi sumberdaya pariwisata, baik wisata alam, wisata
budaya maupun wisata minat khusus. Keberadaan Kab. Ketapang tidaklah dapat
dipisahkan dari Kerajaan Tanjung Pura yang merupakan salah satu kerajaan
terkenal di Kalimantan. Tanjung Pura merupakan kerajaan besar dimasa lalu yang
menjadi warisan budaya. Sayang kehadiran kerajaan tertua di Kalimantan Barat
ini tidaklah langgeng. Adanya degrasi kepemimpinan dan seringnya perpindahan
ibukota dari suatu tempat ke tempat yang baru karena adanya serangan dari
kerajaan tetangga menjadi alasan tidak stabilnya pemerintahan. Hal ini pula
yang menyebabkan Kerajaan Tanjung Pura
tidak memiliki catatan peninggalan sejarah yang banyak.
Salah satu upaya untuk untuk menelusuri jejak Kerajaan
Tanjung Pura adalah dengan menggali peninggalan sejarah yang tersebar di
beberapa daerah bekas kerajaan dan pemukiman penduduk dimasa lalu. Warisan
budaya yang dapat digali ini bila dirangkai, akan menjadi sebuah informasi yang
dapat mengungkap kejayaan Kerajaan Tanjung Pura. Warisan budaya dari masa
lampau yang dapat kita nikmati saat ini, akan kita teruskan kepada generasi
yang akan datang dan menjadi bagian penting dari pembangunan dibidang
kebudayaan.
Keberadaan benda cagar budaya di
Kabupaten Ketapang telah ditetapkan dengan SK Bupati Ketapang Nomor 07 Tahun
2009 tanggal 7 April 2009 tentang Benda
Cagar Budaya (BCB). Beberapa diantara BCB tersebut masih terpelihara dengan
baik. Pemeliharaan dan pelestarian BCB dilakukan dalam bentuk rehabilitasi bangunan
benda cagar budaya dan penjagaan yang dilakukan oleh juru pelihara benda cagar
budaya. Upaya penyelamatan / konservasi BCB juga telah dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Ketapang bekerjasama dengan Balai Arkeologi Banjarmasin
terhadap penemuan situs struktur bangunan candi di Desa Negeri Baru. Pada Tahun 2010 telah dilakukan Eskavasi
Peninggalan Budaya di Desa Negeri Baru Kec. Benua Kayong.
Keberadaan benda cagar budaya dalam
bentuk situs semacam ini terancam punah karena semakin ramainya pemukiman
penduduk dan pemukiman yang dibangun tersebut berada di sekitar benda cagar
budaya (situs), bahkan ada masyarakat yang mendirikan bangunan di atas tanah
situs benda cagar budaya tersebut. Disamping itu, pemukiman penduduk yang makin
padat mengkhawatirkan keberadaan benda cagar budaya karena banyak perumahan
yang dibangun berdampingan dan bahkan ada yang berada di atas tapak situs benda
cagar budaya. Seyogyanya peninggalan sejarah budaya ini tidak terganggu dan
tetap dipelihara keberadaannya.
Pengertian Benda Cagar Budaya, Situs dan Kawasan Cagar
Budaya
Istilah dan batasan tentang Benda Cagar Budaya kita kenal
dari Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Benda Cagar Budaya adalah :
- benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
- benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan situs dalam Undang-Undang di
atas adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya
termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.
Adapun Kawasan Cagar Budaya (KCB) seperti yang sering kita dengar, menurut hemat saya tidak jauh dari pengertian situs di atas. Bedanya, untuk KCB sudah tidak diduga lagi, akan tetapi merupakan suatu lokasi yang mengandung atau terdapat benda cagar budaya.
Situs dapat dideskripsi dalam beberapa jenis antara berdasarkan keletakan dan fungsinya. Atas dasar keletakannya, situs dapat dibedakan menjadi situs terbuka atau open site, yang biasanya terletak di lembah, pantai, ataupun di puncak gunung. Berdasarkan fungsinya, dapat dibedakan menjadi situs hunian, situs pasar, situs perburuan, situs perbengkelan, situs penyembelihan binatang, situs pemujaan, dan situs penguburan (Sharer and Ashmore, 1979 : 73-74). Untuk dapat mengetahui jenis-jenis situs seperti disebutkan di atas harus terlebih dahulu diketahui struktur situs berdasarkan distribusi temuan artefak, hal ini sangat penting bagi interpretasi arkeologis (Binford, 1988 : 144-145). Mengacu pendapat para ahli tersebut, maka untuk dapat menentukan suatu situs hendaknya terlebih dahulu dilakukan penelitian oleh ahlinya. Dengan demikian pengertian situs tidak hanya terbatas pada suatu lokasi ditemukannya artefak atau BCB, akan tetapi dapat meluas pada suatu kawasan yang mempunyai suatu keterkaitan antara satu dengan lainnya (Gunadi, 1996 : 94).
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Kawasan Cagar Budaya adalah tidak hanya berupa satu situs, akan tetapi bisa merupakan suatu lokasi yang lebih luas yang terdiri dari beberapa situs. KCB dapat diketahui dan ditentukan berdasarkan dari hasil penelitian, kajian dan studi, sehingga secara akademik dapat dipertanggung jawabkan, dan kemudian dapat dijadikan acuan dalam penentuan kebijakan selanjutnya, antara lain dalam pembuatan peraturan daerah maupun keputusan-keputusan lain yang perlu diterbitkan oleh pihak eksekutif atau pemerintah.
Pemilik Benda Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya
Seperti
telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1992 bahwa BCB dibedakan
menjadi dua yaitu benda bergerak dan tidak bergerak. Untuk BCB yang bergerak
biasanya dimiliki secara perorangan, baik diperoleh secara turun-temurun atau
diperoleh secara tidak sengaja (penemuan). Misalnya berbagai jenis senjata
seperti keris, tombak, pedang; perkakas rumah tangga seperti benda-benda
keramik asing, maupun berbagai perhiasan yang berasal dari masa lampau. Selain
itu, adapula BCB bergerak yang “tidak bertuan” seperti benda-benda yang
ditemukan tergeletak di pekarangan maupun di persawahan penduduk, akan tetapi
pemiliki sawah maupun pekarangan tersebut tidak merasa memiliki benda tersebut.
Misalnya arca-arca lepas, lesung batu, yoni maupun lingga yang ditemukan di
pekarangan maupun persawahan milik masyarakat. Sedangkan untuk benda-benda
tidak bergerak pada umumnya dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah. Antara lain
seperti gua-gua yang mempunyai konteks dengan kehidupan masa prasejarah,
bangunan atau monument megalitik, candi, klenteng, serta masjid dan gereja tua.
Untuk kawasan cagar budaya pada umumnya masih dimiliki oleh masyarakat, akan tetapi dalam pengelolaannya dikuasai oleh pemerintah, sehingga para pemilik yang berada dalam suatu KCB tersebut dibatasi oleh berbagai aturan yang menyangkut tentang pengelolaan BCB yang dimilikinya. Para pemilik bangunan di kawasan tersebut tidak dapat dengan sesuka hati merubah, merenovasi, ataupun membangun bangunan yang dimilikinya. Untuk dapat menjaga kelestarian dan pelestarian suatu KCB dibutuhkan kesadaran yang tinggi bagi masyarakat. Dengan demikian makin banyak suatu daerah memiliki KCB berarti masyarakatnya telah memiliki kesadaran dalam melestarikan BCB.
Pada hakekatnya baik BCB maupun KCB keduanya dikuasai oleh pemerintah dan terikat dalam suatu peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. BCB dan KCB dapat dimiliki oleh masyarakat akan tetapi tidak dapat diposisikan sebagai asset pribadi yang dapat dengan mudah diperjual-belikan ataupun diperlakukan seperti asset pribadi lain yang tidak termasuk dalam kualifikasi BCB. Oleh karena itu baik BCB maupun KCB oleh Badan Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI) tidak disebut sebagai warisan budaya akan tetapi diistilahkan sebagai pusaka budaya. Dengan menggunakan istilah pusaka budaya dimaksudkan agar BCB dan KCB oleh pemilik dan pemangkunya lebih dipahami tidak hanya sekedar warisan yang diterimanya dari nenek moyang, akan tetapi ada pemahaman sebagai benda yang harus dijaga, dan dirawat, karena telah menyatu dengan jiwa pemiliknya.
Pentingnya Pelestarian BCB dan KCB
Perlu diketahui dan dipahami bahwa BCB dan KCB memiliki atau mengandung nilai-nilai yang bobotnya antara satu dan yang lain tidak sama. Berbagai nilai yang dimiliki dalam BCB dan KCB tersebut antara lain:
- Langka dan tidak terbarukan (unrenewable), artinya bahwa BCB dan KCB tidak dapat ditukar dengan benda lain, sekalipun yang sejenis.
- Unik, dengan nilai-nilai historis, arsitektur, maupun ekologi yang khas sehingga menjadi daya tarik untuk dikunjungi para wisatawan. Nilai histories yang sarat akan makna, perlu dan harus dipahami oleh bangsa ini dari generasi ke generasi. Sebab, dalam nilai histories tersebut terkandung pula nilai-nilai lain yang dapat mengajak kepada generasi muda untuk bisa bersikap dan bertindak secara positif, seperti misalnya sikap kepahlawanan, cinta tanah air, rasa kesatuan dan persatuan, serta berbudi pekerti yang luhur. Selain nilai-nilai yang bersifat immaterial, BCB dan KCB dapat pula dimanfaatkan dalam berbagai sektor seperti akan dijelaskan pada tahap pemanfaatan di bawah.
Upaya
pelestarian BCB dan KCB adalah kegiatan untuk mempertahankan wujud secara fisik
yang meliputi bentuk, ukuran, warna, dan fungsinya sehingga mendekati pada
keadaan semula. Dalam mempertahankan fungsi BCB dan KCB harus mengacu pada
pengertian living monument yaitu BCB yang hingga sekarang masih dimanfaatkan
sesuai dengan fungsi semula dan dead monument yaitu BCB yang saat ditemukan
sudah tidak dimanfaatkan lagi sebagaimana fungsi semula, seperti tertuang dalam
Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor : 10 tahun 1993 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor : 5 tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya. Bagi BCB yang sudah tidak difungsikan sebagaimana fungsi
semula harus dipertahankan agar tidak difungsikan kembali. Dengan alasan apapun
BCB yang telah dinyatakan sebagai dead monument tidak dibenarkan apabila
difungsikan kembali “seolah-olah” mirip dengan fungsi semula. Sedang BCB dan
KCB yang bersifat living monument tetap dapat difungsikan oleh masyarakat
pendukungnya dengan mempertimbangkan dan memperhatikan kelestarian dan
pelestariannya.
Cara-Cara Pelestarian BCB dan KCB
Dalam upaya pelestarian BCB maupun KCB sebaiknya dilakukan secara bertahap, yaitu sebagai berikut:
- Perlindungan hukum dan penetapan sebagai BCB ataupun KCB. Pemerintah Kabupaten maupun Pemerintah Propinsi dapat menetapkan suatu obyek sebagai BCB ataupun KCB dalam suatu Peraturan Daerah, Surat Keputusan Bupati ataupun Gubernur. Penetapan yang menyatakan suatu obyek adalah BCB atau KCB agar mempunyai kekuatan hukum, diusulkan oleh Pemerintah Kabupaten yang dibantu oleh tenaga ahli yang berkompenten dalam bidangnya (arkeolog, sejarawan, antropolog, filolog, dsb).
- Perlindungan secara fisik, perlu dilakukan untuk menghindari campur tangan pihak-pihak lain yang tidak berwenang dalam system pengelolaan BCB dan KCB. Langkah awal dalam perlindungan secara fisik adalah melakukan pemintakatan atau zoning. Langkah pemintakatan ini selain bertujuan melestarikan obyek, juga dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan lain terutama yang terkait dengan pemanfaatan BCB dan KCB tersebut. Penentuan batas-batas antara mintakat inti, mintakat penyangga, dan mintakat pengembangan dapat dilakukan secara arbiter dengan mempertimbangkan batas situs, kondisi geotopografi, dan kelayakan pandang.
Pemanfaatan Benda dan Kawasan Cagar Budaya
Setelah BCB dan KCB berhasil dilestarikan, maka tahap akhir dari system pengelolaannya adalah pemanfaatannya. Akan sia-sia suatu obyek BCB ataupun KCB dilestarikan apabila tidak dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Dengan demikian suatu program kerja harus dapat mewujudkan out put, out come, benefit, dan impactnya, sehingga kinerja suatu lembaga dapat diukur keberhasilannya. Berdasarkan teori, BCB dan KCB tidak hanya untuk kepentingan lembaga tertentu (arkeologi), akan tetapi dapat dimanfaatkan pula oleh berbagai kepentingan, antara lain:
- Scientific research, artinya bahwa BCB dan KCB tidak hanya untuk memenuhi kepentingan ilmu arkeologi ataupun lembaga arkeologi dan purbakala, tetapi berbagai disiplin lain dapat pula memanfaatkan bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
- Creative arts, bahwa BCB dan KCB dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi bagi para seniman, sastrawan, penulis, dan fotografer dengan memanfaatkan obyek tersebut sebagai obyek kreativitasnya.
- Education, BCB mempunyai peranan penting dalam pendidikan bagi pelajar dan generasi muda, terutama dalam upaya menanamkan rasa bangga terhadap kebesaran bangsa dan tanah air.
- Recreation and tourism, pemanfaatan BCB dan KCB yang paling umum dan nyata ialah sebagai obyek wisata yang dikenal dengan wisata budaya. Lebih-lebih untuk obyek BCB ataupun KCB yang berada pada lingkungan alam yang menarik akan memiliki nilai tambah dan daya tarik yang tidak ditemukan di tempat lain.
- Symbolic representation, dimaksudkan bahwa BCB ataupun KCB kadang-kadang dimanfaatkan sebagai gambaran secara simbolis bagi kehidupan manusia.
- Legitimation of action, banyak para pejabat dan orang-orang yang berduit, setelah mendapatkan kedudukan atau kekayaan, mereka kadang-kadang berusaha untuk dapat memiliki atau menguasai BCB tertentu agar dapat meyakinkan kepada masyarakat umum tentang kesuksesan dirinya dan untuk meraih kesuksesan yang lebih tinggi.
- Social solidarity and integration, BCB yang berupa punden atau makam cikal-bakal suatu desa dapat mewujudkan suatu motivasi solidaritas social dan integrasi yang kuat dalam suatu masyarakat. Pada saat-saat tertentu para ahli waris yang merasa keturunan cikal bakal tersebut mereka menziarahinya, maka pada sat itulah akan muncul kesadaran diantara mereka.
- Monetary and economic gain, BCB dan KCB yang telah dimanfaatkan sebagai obyek wisata budaya, akan mendatangkan keuntungan terutama bagi masyarakat disekitar obyek. Pemerintahpun akan mendapatkan pemasukan sebagai pendapatan asli daerah yang berasal dari pungutan retribusi.
PENUTUP
Pemanfaatan BCB dan KCB seperti di atas dapat terwujud apabila suatu potensi BCB ataupun KCB tersebut dapat dikelola dengan baik. Oleh karena itu yang terpenting adalah bagaimana menimbulkan pemahaman kepada semua pihak untuk menjaga dan melestarikan BCB. Selanjunya diperlukan keterpaduan antar stakeholder serta komitmen Pemerintah agar Benda Cagar Budaya yang ada dapat diselamatkan untuk selanjutnya dimanfaatkan untuk kepentingan kemajuan Kabupaten Ketapang secara keseluruhan.

