Kamis, 26 April 2012

Pemanfaatan Benda Cagar Budaya


PEMANFAATAN BENDA CAGAR BUDAYA DALAM WACANA MASYARKAT DAN PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG

Pendahuluan
Kabupaten Ketapang merupakan salah satu daerah di Kalimantan Barat yang kaya dengan potensi sumberdaya pariwisata, baik wisata alam, wisata budaya maupun wisata minat khusus. Keberadaan Kab. Ketapang tidaklah dapat dipisahkan dari Kerajaan Tanjung Pura yang merupakan salah satu kerajaan terkenal di Kalimantan. Tanjung Pura merupakan kerajaan besar dimasa lalu yang menjadi warisan budaya. Sayang kehadiran kerajaan tertua di Kalimantan Barat ini tidaklah langgeng. Adanya degrasi kepemimpinan dan seringnya perpindahan ibukota dari suatu tempat ke tempat yang baru karena adanya serangan dari kerajaan tetangga menjadi alasan tidak stabilnya pemerintahan. Hal ini pula yang menyebabkan Kerajaan  Tanjung Pura tidak memiliki catatan peninggalan sejarah yang banyak.
Salah satu upaya untuk untuk menelusuri jejak Kerajaan Tanjung Pura adalah dengan menggali peninggalan sejarah yang tersebar di beberapa daerah bekas kerajaan dan pemukiman penduduk dimasa lalu. Warisan budaya yang dapat digali ini bila dirangkai, akan menjadi sebuah informasi yang dapat mengungkap kejayaan Kerajaan Tanjung Pura. Warisan budaya dari masa lampau yang dapat kita nikmati saat ini, akan kita teruskan kepada generasi yang akan datang dan menjadi bagian penting dari pembangunan dibidang kebudayaan.
Keberadaan benda cagar budaya di Kabupaten Ketapang telah ditetapkan dengan SK Bupati Ketapang Nomor 07 Tahun 2009  tanggal 7 April 2009 tentang Benda Cagar Budaya (BCB). Beberapa diantara BCB tersebut masih terpelihara dengan baik. Pemeliharaan dan pelestarian BCB dilakukan dalam bentuk rehabilitasi bangunan benda cagar budaya dan penjagaan yang dilakukan oleh juru pelihara benda cagar budaya. Upaya penyelamatan / konservasi BCB juga telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Ketapang bekerjasama dengan Balai Arkeologi Banjarmasin terhadap penemuan situs struktur bangunan candi di Desa Negeri Baru.  Pada Tahun 2010 telah dilakukan Eskavasi Peninggalan Budaya di Desa Negeri Baru Kec. Benua Kayong.
Keberadaan benda cagar budaya dalam bentuk situs semacam ini terancam punah karena semakin ramainya pemukiman penduduk dan pemukiman yang dibangun tersebut berada di sekitar benda cagar budaya (situs), bahkan ada masyarakat yang mendirikan bangunan di atas tanah situs benda cagar budaya tersebut. Disamping itu, pemukiman penduduk yang makin padat mengkhawatirkan keberadaan benda cagar budaya karena banyak perumahan yang dibangun berdampingan dan bahkan ada yang berada di atas tapak situs benda cagar budaya. Seyogyanya peninggalan sejarah budaya ini tidak terganggu dan tetap dipelihara keberadaannya.



Pengertian Benda Cagar Budaya, Situs dan Kawasan Cagar Budaya
Istilah dan batasan tentang Benda Cagar Budaya kita kenal dari Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Benda Cagar Budaya adalah :
  1. benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
  2. benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan situs dalam Undang-Undang di atas adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.

Adapun Kawasan Cagar Budaya (KCB) seperti yang sering kita dengar, menurut hemat saya tidak jauh dari pengertian situs di atas. Bedanya, untuk KCB sudah tidak diduga lagi, akan tetapi merupakan suatu lokasi yang mengandung atau terdapat benda cagar budaya.
 
Situs dapat dideskripsi dalam beberapa jenis antara berdasarkan keletakan dan fungsinya. Atas dasar keletakannya, situs dapat dibedakan menjadi situs terbuka atau open site, yang biasanya terletak di lembah, pantai, ataupun di puncak gunung. Berdasarkan fungsinya, dapat dibedakan menjadi situs hunian, situs pasar, situs perburuan, situs perbengkelan, situs penyembelihan binatang, situs pemujaan, dan situs penguburan (Sharer and Ashmore, 1979 : 73-74). Untuk dapat mengetahui jenis-jenis situs seperti disebutkan di atas harus terlebih dahulu diketahui struktur situs berdasarkan distribusi temuan artefak, hal ini sangat penting bagi interpretasi arkeologis (Binford, 1988 : 144-145). Mengacu pendapat para ahli tersebut, maka untuk dapat menentukan suatu situs hendaknya terlebih dahulu dilakukan penelitian oleh ahlinya. Dengan demikian pengertian situs tidak hanya terbatas pada suatu lokasi ditemukannya artefak atau BCB, akan tetapi dapat meluas pada suatu kawasan yang mempunyai suatu keterkaitan antara satu dengan lainnya (Gunadi, 1996 : 94).

Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Kawasan Cagar Budaya adalah tidak hanya berupa satu situs, akan tetapi bisa merupakan suatu lokasi yang lebih luas yang terdiri dari beberapa situs. KCB dapat diketahui dan ditentukan berdasarkan dari hasil penelitian, kajian dan studi, sehingga secara akademik dapat dipertanggung jawabkan, dan kemudian dapat dijadikan acuan dalam penentuan kebijakan selanjutnya, antara lain dalam pembuatan peraturan daerah maupun keputusan-keputusan lain yang perlu diterbitkan oleh pihak eksekutif atau pemerintah.


 Pemilik Benda Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya

Seperti telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1992 bahwa BCB dibedakan menjadi dua yaitu benda bergerak dan tidak bergerak. Untuk BCB yang bergerak biasanya dimiliki secara perorangan, baik diperoleh secara turun-temurun atau diperoleh secara tidak sengaja (penemuan). Misalnya berbagai jenis senjata seperti keris, tombak, pedang; perkakas rumah tangga seperti benda-benda keramik asing, maupun berbagai perhiasan yang berasal dari masa lampau. Selain itu, adapula BCB bergerak yang “tidak bertuan” seperti benda-benda yang ditemukan tergeletak di pekarangan maupun di persawahan penduduk, akan tetapi pemiliki sawah maupun pekarangan tersebut tidak merasa memiliki benda tersebut. Misalnya arca-arca lepas, lesung batu, yoni maupun lingga yang ditemukan di pekarangan maupun persawahan milik masyarakat. Sedangkan untuk benda-benda tidak bergerak pada umumnya dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah. Antara lain seperti gua-gua yang mempunyai konteks dengan kehidupan masa prasejarah, bangunan atau monument megalitik, candi, klenteng, serta masjid dan gereja tua.

Untuk kawasan cagar budaya pada umumnya masih dimiliki oleh masyarakat, akan tetapi dalam pengelolaannya dikuasai oleh pemerintah, sehingga para pemilik yang berada dalam suatu KCB tersebut dibatasi oleh berbagai aturan yang menyangkut tentang pengelolaan BCB yang dimilikinya. Para pemilik bangunan di kawasan tersebut tidak dapat dengan sesuka hati merubah, merenovasi, ataupun membangun bangunan yang dimilikinya. Untuk dapat menjaga kelestarian dan pelestarian suatu KCB dibutuhkan kesadaran yang tinggi bagi masyarakat. Dengan demikian makin banyak suatu daerah memiliki KCB berarti masyarakatnya telah memiliki kesadaran dalam melestarikan BCB.

Pada hakekatnya baik BCB maupun KCB keduanya dikuasai oleh pemerintah dan terikat dalam suatu peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. BCB dan KCB dapat dimiliki oleh masyarakat akan tetapi tidak dapat diposisikan sebagai asset pribadi yang dapat dengan mudah diperjual-belikan ataupun diperlakukan seperti asset pribadi lain yang tidak termasuk dalam kualifikasi BCB. Oleh karena itu baik BCB maupun KCB oleh Badan Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI) tidak disebut sebagai warisan budaya akan tetapi diistilahkan sebagai pusaka budaya. Dengan menggunakan istilah pusaka budaya dimaksudkan agar BCB dan KCB oleh pemilik dan pemangkunya lebih dipahami tidak hanya sekedar warisan yang diterimanya dari nenek moyang, akan tetapi ada pemahaman sebagai benda yang harus dijaga, dan dirawat, karena telah menyatu dengan jiwa pemiliknya.



Pentingnya Pelestarian BCB dan KCB

Perlu diketahui dan dipahami bahwa BCB dan KCB memiliki atau mengandung nilai-nilai yang bobotnya antara satu dan yang lain tidak sama. Berbagai nilai yang dimiliki dalam BCB dan KCB tersebut antara lain:
  1. Langka dan tidak terbarukan (unrenewable), artinya bahwa BCB dan KCB tidak dapat ditukar dengan benda lain, sekalipun yang sejenis.
  2. Unik, dengan nilai-nilai historis, arsitektur, maupun ekologi yang khas sehingga menjadi daya tarik untuk dikunjungi para wisatawan. Nilai histories yang sarat akan makna, perlu dan harus dipahami oleh bangsa ini dari generasi ke generasi. Sebab, dalam nilai histories tersebut terkandung pula nilai-nilai lain yang dapat mengajak kepada generasi muda untuk bisa bersikap dan bertindak secara positif, seperti misalnya sikap kepahlawanan, cinta tanah air, rasa kesatuan dan persatuan, serta berbudi pekerti yang luhur. Selain nilai-nilai yang bersifat immaterial, BCB dan KCB dapat pula dimanfaatkan dalam berbagai sektor seperti akan dijelaskan pada tahap pemanfaatan di bawah.
Upaya pelestarian BCB dan KCB adalah kegiatan untuk mempertahankan wujud secara fisik yang meliputi bentuk, ukuran, warna, dan fungsinya sehingga mendekati pada keadaan semula. Dalam mempertahankan fungsi BCB dan KCB harus mengacu pada pengertian living monument yaitu BCB yang hingga sekarang masih dimanfaatkan sesuai dengan fungsi semula dan dead monument yaitu BCB yang saat ditemukan sudah tidak dimanfaatkan lagi sebagaimana fungsi semula, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 10 tahun 1993 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor : 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Bagi BCB yang sudah tidak difungsikan sebagaimana fungsi semula harus dipertahankan agar tidak difungsikan kembali. Dengan alasan apapun BCB yang telah dinyatakan sebagai dead monument tidak dibenarkan apabila difungsikan kembali “seolah-olah” mirip dengan fungsi semula. Sedang BCB dan KCB yang bersifat living monument tetap dapat difungsikan oleh masyarakat pendukungnya dengan mempertimbangkan dan memperhatikan kelestarian dan pelestariannya.

Cara-Cara Pelestarian BCB dan KCB

Dalam upaya pelestarian BCB maupun KCB sebaiknya dilakukan secara bertahap, yaitu sebagai berikut:
  1. Perlindungan hukum dan penetapan sebagai BCB ataupun KCB. Pemerintah Kabupaten maupun Pemerintah Propinsi dapat menetapkan suatu obyek sebagai BCB ataupun KCB dalam suatu Peraturan Daerah, Surat Keputusan Bupati ataupun Gubernur. Penetapan yang menyatakan suatu obyek adalah BCB atau KCB agar mempunyai kekuatan hukum, diusulkan oleh Pemerintah Kabupaten yang dibantu oleh tenaga ahli yang berkompenten dalam bidangnya (arkeolog, sejarawan, antropolog, filolog, dsb).
  2. Perlindungan secara fisik, perlu dilakukan untuk menghindari campur tangan pihak-pihak lain yang tidak berwenang dalam system pengelolaan BCB dan KCB. Langkah awal dalam perlindungan secara fisik adalah melakukan pemintakatan atau zoning. Langkah pemintakatan ini selain bertujuan melestarikan obyek, juga dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan lain terutama yang terkait dengan pemanfaatan BCB dan KCB tersebut. Penentuan batas-batas antara mintakat inti, mintakat penyangga, dan mintakat pengembangan dapat dilakukan secara arbiter dengan mempertimbangkan batas situs, kondisi geotopografi, dan kelayakan pandang.


Pemanfaatan Benda dan Kawasan Cagar Budaya

Setelah BCB dan KCB berhasil dilestarikan, maka tahap akhir dari system pengelolaannya adalah pemanfaatannya. Akan sia-sia suatu obyek BCB ataupun KCB dilestarikan apabila tidak dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Dengan demikian suatu program kerja harus dapat mewujudkan out put, out come, benefit, dan impactnya, sehingga kinerja suatu lembaga dapat diukur keberhasilannya. Berdasarkan teori, BCB dan KCB tidak hanya untuk kepentingan lembaga tertentu (arkeologi), akan tetapi dapat dimanfaatkan pula oleh berbagai kepentingan, antara lain:
  1. Scientific research, artinya bahwa BCB dan KCB tidak hanya untuk memenuhi kepentingan ilmu arkeologi ataupun lembaga arkeologi dan purbakala, tetapi berbagai disiplin lain dapat pula memanfaatkan bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  2. Creative arts, bahwa BCB dan KCB dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi bagi para seniman, sastrawan, penulis, dan fotografer dengan memanfaatkan obyek tersebut sebagai obyek kreativitasnya.
  3. Education, BCB mempunyai peranan penting dalam pendidikan bagi pelajar dan generasi muda, terutama dalam upaya menanamkan rasa bangga terhadap kebesaran bangsa dan tanah air.
  4. Recreation and tourism, pemanfaatan BCB dan KCB yang paling umum dan nyata ialah sebagai obyek wisata yang dikenal dengan wisata budaya. Lebih-lebih untuk obyek BCB ataupun KCB yang berada pada lingkungan alam yang menarik akan memiliki nilai tambah dan daya tarik yang tidak ditemukan di tempat lain.
  5. Symbolic representation, dimaksudkan bahwa BCB ataupun KCB kadang-kadang dimanfaatkan sebagai gambaran secara simbolis bagi kehidupan manusia.
  6. Legitimation of action, banyak para pejabat dan orang-orang yang berduit, setelah mendapatkan kedudukan atau kekayaan, mereka kadang-kadang berusaha untuk dapat memiliki atau menguasai BCB tertentu agar dapat meyakinkan kepada masyarakat umum tentang kesuksesan dirinya dan untuk meraih kesuksesan yang lebih tinggi.
  7. Social solidarity and integration, BCB yang berupa punden atau makam cikal-bakal suatu desa dapat mewujudkan suatu motivasi solidaritas social dan integrasi yang kuat dalam suatu masyarakat. Pada saat-saat tertentu para ahli waris yang merasa keturunan cikal bakal tersebut mereka menziarahinya, maka pada sat itulah akan muncul kesadaran diantara mereka.
  8. Monetary and economic gain, BCB dan KCB yang telah dimanfaatkan sebagai obyek wisata budaya, akan mendatangkan keuntungan terutama bagi masyarakat disekitar obyek. Pemerintahpun akan mendapatkan pemasukan sebagai pendapatan asli daerah yang berasal dari pungutan retribusi.

PENUTUP

Pemanfaatan BCB dan KCB seperti di atas dapat terwujud apabila suatu potensi BCB ataupun KCB tersebut dapat dikelola dengan baik. Oleh karena itu yang terpenting adalah bagaimana menimbulkan pemahaman kepada semua pihak untuk menjaga dan melestarikan BCB. Selanjunya diperlukan keterpaduan antar stakeholder serta komitmen Pemerintah agar Benda Cagar Budaya yang ada dapat diselamatkan untuk selanjutnya dimanfaatkan untuk kepentingan kemajuan Kabupaten Ketapang secara keseluruhan.

Minggu, 01 April 2012

wisata minat khusus di kecamatan hulu sungai





Kecamatan Hulu merupakan salah satu kecamatan di Kab. Ketapang Kalbar. Kecamatan ini merupakan kecamatan baru hasil pemekaran dari Kecamatan Sandai. Kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan di pedalaman, dimana transportasi untuk mencapai daerah ini masih sulit dengan perjalanan yang melelahkan  Untuk mencapai kecamatan ini, dibutuhkan sebuah petualangan.  Tapi bagi mereka yang suka dengan tantangan dan suka dengan kehidupan alam yang masih asri, perjalanan ini tidaklah sia-sia. Di sepanjang perjalanan, kita akan melihat suasana alam yang masih asri berupa hutan belantara, sungai dengan jeram / riam yang menantang, panorama alam yang indah dan sebagainya. Kecamatan ini dihuni oleh suku dayak. Kita akan melihat kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional suku dayak  yang unik. Mereka berkeyakinan, alam yang dipelihara dengan baik akan memberikan kehidupan, bukan saja untuk saat ini tetapi juga untuk kehidupan masa depan  yang lebih baik. Oleh karenanya memanfaatkannya harus dengan tetap memperhatikan kelestariannya. 
Semoga pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah, akan lebih banyak menyentuh kehidupan masyarakat di daerah ini sehingga kehidupan mereka akan lebih baik. 

Sabtu, 31 Maret 2012

Keramat AKI

Makam Keramat AKI, berlokasi didalam hutan di Dusun Merimbang Jaya Desa Randau Jekak Kecamatan Sandai Kab. Ketapang Kalbar.  Benda ini berupa kayu yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat yang diperkirakan sudah berumur kurang lebih 300 tahun. Kayu yang dikeramatkan ini pada awalnya adalah dahan kayu yang jatuh dan menancapkan ke tanah, tapi yang menancap ke tanah adalah ujungnya. Penduduk yang pada saat itu masih menganut paham animisme.   Walau seiring dengan perkembangan jaman, masyaraat setempat hingga kini selalu mengadakan acara adat besiang bekerakai, yaitu ketika panen telah selesai dan akan membuka ladang baru, mereka mengadakan acara ditempat ini untuk meminta keselamatan. Bila dilihat dari sudut pandang budaya, ini adalah sebuah kearipan lokal. Sisi positifnya adalah masyarakat setempat akan selalu menjaga keaslian lingkugan sekitar dimana keramat ini berada

Jumat, 30 Maret 2012

budaya



Kabupaten Ketapang merupakan salah satu daerah di Kalimantan Barat yang kaya dengan potensi sumberdaya pariwisata, baik wisata alam, wisata budaya maupun wisata minat khusus. Keberadaan Kab. Ketapang tidaklah dapat dipisahkan dari Kerajaan Tanjung Pura yang merupakan salah satu kerajaan terkenal di Kalimantan. Tanjung Pura merupakan kerajaan besar dimasa lalu yang menjadi warisan budaya. Sayang kehadiran kerajaan tertua di Kalimantan Barat ini tidaklah langgeng. Adanya degrasi kepemimpinan dan seringnya perpindahan ibukota dari suatu tempat ke tempat yang baru karena adanya serangan dari kerajaan tetangga menjadi alasan tidak stabilnya pemerintahan. Hal ini pula yang menyebabkan Kerajaan  Tanjung Pura tidak memiliki catatan peninggalan sejarah yang banyak.
Salah satu upaya untuk untuk menelusuri jejak Kerajaan Tanjung Pura adalah dengan menggali peninggalan sejarah yang tersebar di beberapa daerah bekas kerajaan dan pemukiman penduduk dimasa lalu. Warisan budaya yang dapat digali ini bila dirangkai, akan menjadi sebuah informasi yang dapat mengungkap kejayaan Kerajaan Tanjung Pura. Warisan budaya dari masa lampau yang dapat kita nikmati saat ini, akan kita teruskan kepada generasi yang akan datang dan menjadi bagian penting dari pembangunan dibidang kebudayaan.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Sedangkan kebudayaan sendiri adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dapat dibedakan menjadi tiga bagian. Yang pertama adalah gagasan yaitu ide, nilai-nilai, norma, peraturan dan sebagainya yang bersifat abstrak. Wujud kebudayaan yang kedua adalah aktifitas, yaitu suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. System social terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Wujud kebudayaan yang ketiga adalah artefak, yaitu wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktifitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan didokumentasikan.
Sedangkan warisan budaya (cultural heritage) menurut Davidson (1991:2) diartikan sebagai produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam jati diri suatu kelompok atau bangsa. Pemerintah Kabupaten Ketapang menjadikan warisan budaya ini sebagai potensi untuk membangun daerah.
Jika kekayaan keragaman budaya dan tradisi itu dapat dikelola dengan baik dan benar, maka bukan tidak mungkin akan membangkitkan pembangunan social ekonomi, budaya dan pembangunan daerah. Upaya penggalian dilakukan untuk memanfaatkan warisan budaya tersebut, sekaligus untuk melestarikannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan dan kemajuan pembangunan yang kurang memperhatikan kelestarian warisan budaya, telah menyebabkan terjadinya degradasi warisan budaya, terjadinya erosi nilai-nilai budaya, menurunnya rasa nasionalisme dan patriotism, hilangnya sifat kekeluargaan dan gotong royong.

Senin, 19 Maret 2012

Two potential ecotourist attractions offer breathtaking panorama

Two potential tourist attractions in an isolated part of Ketapang regency, West Kalimantan, are in need of extra attention from the regency administration as not many people know about the Kuri and Keruat rocky hills in Sungai Laur district or the legend surrounding them.

The Ketapang Council deputy speaker, Budi Matheus, said the administration should think of a way to develop the location as a conservation area. “The area is very exotic and should be developed into a resort area. Obviously, the hills should receive official status, too,” Budi said.

Kuri and Keruat hills are located next to each other in an area of natural forest and small hills. Ketapang is located around 245 kilometers from the provincial capital Pontianak and can be reached by traveling on the Trans-Kalimantan highway, which connects with Central Kalimantan.

The head of the Ketapang Tourism and Culture Office, Yudho Sudarto, said there was very little accurate information about the two hills. “Both the hills provide habitat for an endemic bat species, which lives in caves within them,” said Yudho.

During the fruit season, the area is known for its local durian. Yudho said the hills were potential ecotourism destinations. “The cliffs on Kuri Hill could be turned into a rock-climbing arena. We have yet to obtain information on what would be needed. So far, we only have personal accounts from locals,” said Yudho.

Breathtaking views of Kuri and Keruat hills can be enjoyed from several places along the road, such as Kalam hamlet, located around 5 km from the Sungai Laur district capital, Aur Kuning.

The peak of Kuri Hill appears like a pyramid, while Keruat Hill resembles a giant dome with vegetation covering its surface. The village of Aur Kuning offers a relatively clear view of both hills.

Marsia Milan, 22, a local midwife, has climbed to the peak of Kuri Hill on several occasions. “From close up, Kuri Hill looks like a giant boulder planted on the ground,” Marsia said in Sungai Daka village, which is located less than 3 km from Aur Kuning.

In November last year, Marsia and several of her friends hiked up Kuri Hill, only taking an hour to reach the top. “When we were near the peak, we had to hold on to tree roots to maintain our foothold,” Marsia said.

With regards to the legend surrounding the hills, an elder from Sungai Daka village, Elisius Kendek, 81, said both hills were fragments that had broken away from another larger hill called Batu Daya Hill.

Batu Daya Hill is located in Simpang Dua district, some 25 km from Aur Kuning. In the local dialect, residents call it Botuh Daya. Some call it Unta Hill, because it resembles the hump of a camel. “[Legend has it that] a giant bird became enraged when an animal disturbed its eggs. In its anger, it tore at the peak of Batu Daya Hill with its talons and some of the fragments landed near Aur Kuning and became the Kuri and Keruat Hills,” said Kendek, grandfather to 13 grandchildren and two great-grandchildren.

“According to folklore, an old man from the village, named Kek Terenggau, who was a giant, picked up the broken rocks and arranged them into a sabar bubu (fish trap) and a grindstone for his machete,” added Kendek.

The sabar bubu was made by damming up the Laur River. It can still be seen when rapids form near Sepotong village, which is located 10 km from Aur Kuning.

Magdalena Ande, 54, a local grandmother, said before being attacked by the giant bird, Batu Daya Hill was reputed to have been very tall — almost reaching the sky. “In the story passed down to us through the generations, the gigantic bird was called the burung Garuda,” added Ande.